MENDOBRAK STANDAR UMUM KESUKSESAN: SISTEM RANKING KELAS ADALAH BUKAN PATOKAN UTAMA DALAM KEBERHASILAN HIDUP

MENDOBRAK STANDAR UMUM KESUKSESAN: SISTEM RANKING KELAS ADALAH BUKAN PATOKAN UTAMA DALAM KEBERHASILAN HIDUP

 

Dudung Sulimar

 

Jika anda (para orang tua) berpikiran bahwasannya kesuksesan hidup adalah hanya milik dokter, insinyur, hakim, anggota dewan, polisi, tentara atau sebagai aparatur sipil negara. Itu salah besar. Stop berpikiran seperti itu. Tinggalkan pikiran kolot. Jika anda sudah berhenti memikirkan seperti itu, berarti anda sudah mendobrak standar umum kesuksesan.

Sebuah kebanggaan selaku orang tua, jika anak-anak kita yang sedang menempuh pendidikan di sekolah formal mendapatkan ranking pertama. Atau setidaknya masuk top five rank. Ini menjadi sebuah kebanggan tiada tara selaku orang tua.

Orang tuanya akan sering bercerita mengenai kecerdasan anaknya. Baik di media sosial, warung-warung belanja, tempat tongkrongan, pengajian, hingga obrolan-obrolan santai dengan orang tua lainnya di perumahan.

Semua media sosialnya akan dipenuhi foto-foto anaknya dengan berbagai caption keberhasilan. Nilai-nilai yang bagus, lembaran rapor yang sempurna, hadiah-hadiah, medali. Begitulah kira-kira harapannya.

Para orang tua, barangkali bernggapan bahwasannya kecerdasan anak itu tunggal. Padahal tidak seperti itu, kecerdasan itu bermacam-macam atau majemuk.

Tiap anak-anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda. Kecerdasan anak tidak bisa diukur dengan hanya melihat nilai 3 lembar rapor yang selalu dibagikan tiap semester. Bahkan ketika kenaikan kelas. 

Kecerdasan mereka tidak bisa diukur hanya beberapa mata pelajaran saja. Apalagi seakan-akan dikompetisikan dengan ruang lingkup sejumlah siswa di kelas. Betapa naifnya kita, selaku orang tua. Ada pandangan lain untuk melejitkan potensi dan kecerdasan anak-anak.

Menurut psikolog Rose Mini, seorang penggagas Taman Kreatifitas Anak Indonesia bahwasannya anak bisa diasah dengan menggunakan multiple intelligence (kecerdasan majemuk). Yaitu dengan mengkolaborasikan kurikulum dari pemerintah dan kurikulum rancangan sendiri hasil kreatifitas sendiri.

Kreatifitas sendiri yaitu berdasarkan dari kreatifitas dari para pendidiknya atau institusi itu sendiri yang sudah di desain sedemikian rupa.

Sistem peringkat tidak selama berbanding lurus dengan capaian sukses di lingkungan masyarakat. Justru banyak antithesis dari sistem peringkat ini.

Sekolah cenderung membekali anaknya dengan teknik-teknik keterampilan hapalan, menjejali anak-anak dengan tumpukan tugas atau pekerjaan rumah (PR). Padahal langkah-langkah seperti ini adalah yang akan memberatkan anak.

Bagaimana dengan multiple intelligence? H. Gardner: “Intelligence Reframed: Multiple Intelligences” (1983). Ia membagi model kecerdasan menjadi sembilan bentuk. Pertama, kecerdasan logika matematika yang meliputi kemampuan berhitung, memahami proposisi dan hipotesis, serta menyelesaikan persoalan matematika. Kedua, kecerdasan kemampuan linguistik yang meliputi cara berpikir dan penggunaan bahasa. Ketiga kecerdasan spasial dimana setiap individu dengan tipe ini punya kemampuan berpikir tiga dimensi, yaitu daya khayal ruang bidang, penalaran spasial, manipulasi gambar, keterampilan grafis dan seni. Keempat kecerdasan musik, yakni kapasitas seseorang membedakan nada, ritme, dan timbre. Kelima menyangkut kinestetik, biasanya, anak dengan kecerdasan ini cenderung lebih aktif bergerak, menonjol di olahraga atau tari. Tipe keenam adalah kecerdasan naturalis, yakni ketika anak peka dan menyayangi alam, manusia, hewan, dan tumbuhan. Ketujuh kecerdasan interpersonal dimiliki oleh individu yang lihai berinteraksi. Kedelapan kecerdasan intra-personal merupakan bagian kecerdasan yang dibutuhkan untuk menyusun arah hidup. Dan terakhir, kecerdasan eksistensial, memiliki kepekaan terhadap asal usul, keberadaan manusia, arti hidup, kematian, dan proses semesta. Mereka berpotensi menjadi filsuf, pemuka agama, atau ilmuwan. 

Kecerdasan majemuk mengalir layaknya air. Berhembus layaknya udara. Bersinar layaknya matahari. Kecerdasan majemuk mengajarkan analisis suatu benda. Berbaur dengan masyarakat. Berinteraksi dengan orang banyak dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

Cobalah sekali-kali disuruh anak untuk mengamati benda/binatang kecil yang ada di kebun dengan menggunakan alat pembesar. Berikan kesempatan kepada anak untuk menyimpulkan hasil pengamatannya.

Mengajak anak untuk berjalan-jalan ke pasar dengan dibekali sejumlah uang. Menuju ke tempat tujuan dengan menggunakan transportasi umum. Sesudah ditempat tujuan, biarkan anak untuk berimprovisasi dan mengeksplor untuk belanja secara mandiri dengan sejumlah uang yang sudah diberikan. Biarkan anak untuk memilih barang-barang benda sesuai kebutuhannya dengan pengawasan kita. Serta biarkan anak-anak untuk menghitung plus minusnya secara mandiri.

Dari sanalah anak diajarkan untuk hidup mandiri, mengaplikasi ilmu matematika yang sudah dipelajari. Mengaplikasikan ilmu sosialnya yang sudah dipelajari. Mengaplikasikan ilmu bahasanya yang sudah dipelajari. Dan berbagai ilmu-ilmu yang sudah dipelajarinya, kemudian diimplementasikan dalam kehidupan. Anak-anak secara tidak langsung sudah dibekali keterampilan hidup dan dibekali berpikir kreatif, logis, dan faktual.

Selain itu interpersonal skil mereka juga terasah, dengan banyak interaksi dengan orang lain. Selain itu, mereka akan mendapatkan pola-pola pikiran mandiri, kreatif dan inovatif serta pantang menyerah dalam mencapai suatu tujuan.